Ketika Politik Mempolitisasi Agama demi Kepentingan Kekuasaan

Ketika Mimbar Suci Diseret ke Panggung Politik: Bahaya Politisasi Agama Demi Kekuasaan

Agama, pada hakikatnya, adalah panduan moral dan spiritual yang membawa kedamaian, etika, dan makna bagi jutaan umat manusia. Ia seharusnya menjadi mercusuar yang menerangi jalan, sumber inspirasi untuk kebaikan, dan perekat solidaritas sosial. Namun, dalam arena politik yang seringkali pragmatis, kejam, dan haus kekuasaan, kesucian ini kerap kali dicabik-cabik, diseret ke medan pertempuran elektoral, dan diubah menjadi sekadar alat. Inilah ironi pahit ketika politik mempolitisasi agama, bukan demi kemaslahatan umat, melainkan demi kepentingan segelintir elite yang mengincar singgasana kekuasaan.

Mengapa Agama Menjadi Sasaran Empuk Politisasi?

Ada beberapa alasan mengapa agama menjadi instrumen yang begitu efektif dalam perebutan kekuasaan:

  1. Legitimasi Instan: Klaim "atas nama agama" atau "demi membela agama" dapat memberikan legitimasi yang kuat dan instan bagi seorang politisi atau agenda tertentu. Ini seolah-olah membenarkan setiap tindakan dan memposisikan penentang sebagai musuh agama itu sendiri.
  2. Mobilisasi Massa yang Kuat: Agama memiliki kekuatan emosional dan daya ikat komunal yang luar biasa. Dengan menyentuh sentimen keagamaan, politisi dapat dengan mudah memobilisasi massa dalam jumlah besar, mengubah mereka menjadi "tentara" politik yang loyal dan militan.
  3. Membuat Polarisasi: Agama dapat digunakan untuk menciptakan dikotomi "kita" versus "mereka" yang tajam. Mereka yang mendukung politisi tertentu dianggap sebagai "pembela agama," sementara lawan politik dicap sebagai "anti-agama," "sekuler," atau bahkan "musuh Tuhan."
  4. Menyederhanakan Isu Kompleks: Isu-isu politik yang kompleks seringkali disederhanakan menjadi persoalan hitam-putih antara "kebaikan" dan "keburukan" berdasarkan dalil agama yang dipelintir, menghindari diskusi rasional dan solusi yang komprehensif.

Bagaimana Politisasi Agama Beroperasi?

Proses politisasi ini seringkali dimulai dengan cara-cara yang halus, namun berujung pada eksploitasi terang-terangan:

  • Retorika dan Simbolisme: Penggunaan simbol-simbol agama, kutipan ayat-ayat suci yang dipelintir dari konteksnya, atau penampilan yang sangat religius oleh politisi, seringkali bertujuan untuk menarik simpati dan membangun citra "saleh" di mata pemilih.
  • Pemanfaatan Tokoh Agama: Beberapa tokoh agama, baik karena keyakinan pribadi, tekanan, atau iming-iming tertentu, menjadi corong politik. Mimbar-mimbar suci yang seharusnya menjadi tempat penyampaian pesan moral dan spiritual, berubah menjadi panggung kampanye politik.
  • Penciptaan Narasi Ancaman: Narasi tentang "agama sedang terancam" atau "nilai-nilai suci sedang diinjak-injak" sering diciptakan untuk memicu kemarahan, ketakutan, dan rasa solidaritas umat, memaksa mereka untuk memilih "penyelamat" yang mereka klaim.
  • Pembingkaian Isu Moral: Isu-isu moralitas publik diangkat bukan untuk mencari solusi konstruktif, melainkan untuk menyerang lawan politik dan mendiskreditkan karakter mereka, seringkali tanpa bukti kuat dan dengan mengabaikan prinsip praduga tak bersalah.

Konsekuensi Tragis Politisasi Agama

Dampak dari politisasi agama ini sangat mengerikan dan merusak tatanan sosial serta kemuliaan agama itu sendiri:

  1. Erosi Nilai-nilai Agama: Agama yang seharusnya menjadi sumber kasih sayang, toleransi, keadilan, dan persatuan, justru direduksi menjadi senjata untuk menyerang, memecah belah, dan membenarkan tindakan yang bertentangan dengan ajarannya. Esensi spiritualnya terkikis, digantikan oleh kepentingan duniawi.
  2. Polarisasi dan Perpecahan Sosial: Masyarakat menjadi terpecah belah bukan hanya karena perbedaan pilihan politik, tetapi karena identitas keagamaan. Ini menciptakan jurang yang dalam, memicu konflik horizontal, dan merusak kerukunan yang telah lama dibangun.
  3. Merusak Nalar Kritis dan Akal Sehat: Umat didorong untuk patuh secara membabi buta atas nama agama, tanpa mempertanyakan motif di balik seruan politik tersebut. Ini mematikan akal sehat, menghalangi dialog konstruktif, dan membuka pintu bagi fanatisme.
  4. Hilangnya Kepercayaan: Ketika agama terus-menerus diperalat, kepercayaan masyarakat terhadap institusi agama dan bahkan para pemimpin agama bisa menurun drastis. Politik pun kehilangan integritasnya karena dianggap manipulatif.
  5. Ancaman Terhadap Demokrasi: Dalam konteks negara demokrasi, politisasi agama dapat mengancam prinsip kesetaraan, kebebasan berpendapat, dan hak-hak minoritas, karena kelompok mayoritas agama bisa saja digunakan untuk menekan kelompok lain.

Menjaga Kesucian Mimbar dan Integritas Politik

Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, diperlukan kesadaran kolektif dari berbagai pihak:

  • Peran Pemimpin Agama: Para pemimpin agama harus kembali pada khittah mereka sebagai pembimbing spiritual, bukan agen politik. Mereka harus berani menyuarakan kebenaran, menolak dijadikan stempel legitimasi bagi agenda kekuasaan, dan mengajarkan nilai-nilai universal agama seperti kasih sayang, toleransi, dan keadilan.
  • Peran Masyarakat Sipil dan Media: Masyarakat harus lebih kritis dalam menyaring informasi, mempromosikan literasi politik dan agama, serta menuntut akuntabilitas dari politisi dan tokoh agama. Media massa memiliki peran vital dalam menyajikan informasi yang berimbang dan tidak memprovokasi.
  • Peran Politisi: Para politisi harus menghormati batas antara ranah politik dan ranah sakral agama. Berpolitiklah dengan etika dan integritas, tanpa harus menyeret nama Tuhan ke dalam intrik duniawi. Fokus pada solusi masalah publik daripada eksploitasi sentimen.

Pada akhirnya, ketika politik mempolitisasi agama, yang kalah adalah kita semua. Agama kehilangan kemuliaannya, politik kehilangan integritasnya, dan masyarakat kehilangan persatuannya. Penting bagi kita untuk senantiasa menjaga kesucian mimbar-mimbar suci, memastikan bahwa ia tetap menjadi sumber pencerahan dan bukan panggung intrik politik. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang berlandaskan moralitas sejati, bukan moralitas yang dipinjamkan demi kekuasaan semata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *