Kenapa Politik Selalu Mengutamakan Popularitas daripada Kapasitas

Ketika Karisma Mengalahkan Kompetensi: Mengapa Politik Selalu Mengejar Popularitas

Politik seringkali tampak seperti panggung sandiwara, di mana para aktornya berlomba menarik perhatian penonton. Di tengah berbagai tantangan kompleks yang dihadapi bangsa, mulai dari ekonomi, pendidikan, hingga lingkungan, muncul pertanyaan mendasar: Mengapa politisi dan partai politik lebih getol mengejar popularitas dan citra ketimbang menunjukkan kapasitas, kompetensi, dan solusi nyata? Fenomena ini bukan tanpa alasan, melainkan berakar pada struktur dan dinamika politik itu sendiri.

Berikut adalah beberapa alasan mengapa popularitas kerap diutamakan di atas kapasitas dalam arena politik:

1. Imperatif Elektoral: Suara adalah Mata Uang Utama
Pilar utama demokrasi adalah pemilihan umum. Untuk memenangkan pemilu dan meraih kekuasaan, seorang politisi atau partai harus mendapatkan dukungan dan suara terbanyak dari rakyat. Dalam konteks ini, popularitas adalah tiket utama. Kemampuan untuk dikenal luas, disukai, dan dipercaya oleh massa, terlepas dari kedalaman pemahaman isu atau rekam jejak profesional, menjadi sangat krusial. Seorang politisi yang sangat kompeten namun tidak dikenal atau tidak disukai, akan kesulitan memenangkan hati pemilih. Oleh karena itu, investasi terbesar sering dialokasikan untuk kampanye pencitraan, branding personal, dan strategi komunikasi yang menonjolkan aspek "likability" ketimbang "capability."

2. Persepsi Publik dan Peran Media Massa
Masyarakat, terutama di era informasi yang serba cepat, cenderung menilai politisi dari citra yang ditampilkan di permukaan. Karisma, kemampuan berbicara yang persuasif, janji-janji yang menggoda, atau bahkan sekadar penampilan fisik yang menarik, seringkali lebih mudah ditangkap dan dipercaya daripada analisis kebijakan yang rumit atau rekam jejak yang membutuhkan riset mendalam. Media massa, terutama di era digital dan media sosial, juga berperan besar dalam membentuk persepsi ini. Berita yang sensasional, konflik, atau narasi personal yang kuat, cenderung lebih viral dan menarik perhatian ketimbang pembahasan detail program atau kompetensi teknis seorang calon. Ini mendorong politisi untuk lebih fokus pada "pertunjukan" daripada "substansi."

3. Orientasi Jangka Pendek vs. Jangka Panjang
Politik adalah medan kompetisi yang brutal dan berjangka pendek. Tujuan utama para politisi adalah memenangkan pemilu berikutnya atau mempertahankan kekuasaan dalam periode jabatan yang terbatas. Investasi pada kapasitas (misalnya, reformasi birokrasi yang memakan waktu, pembangunan infrastruktur jangka panjang, atau perbaikan sistem pendidikan yang hasilnya baru terlihat puluhan tahun kemudian) seringkali membutuhkan waktu lama untuk membuahkan hasil yang nyata. Sementara itu, popularitas dapat dipupuk dengan cepat melalui retorika populis, program instan yang terlihat berdampak (meskipun dangkal), atau bahkan pencitraan yang kosong. Prioritas pun bergeser dari pembangunan berkelanjutan menjadi perolehan suara instan.

4. Politik sebagai Pertunjukan (Showmanship)
Seorang politisi modern juga dituntut menjadi seorang "performer." Kemampuan berbicara di depan publik, berinteraksi dengan massa, tampil meyakinkan di televisi, atau piawai menggunakan media sosial, adalah bagian tak terpisahkan dari pekerjaan mereka. Aspek "showmanship" ini seringkali lebih dihargai dan diukur secara langsung (misalnya, melalui survei popularitas atau rating acara) daripada kemampuan merumuskan undang-undang yang solid, mengelola anggaran negara dengan efisien, atau membangun kohesi sosial yang kuat. Politisi yang pandai menciptakan narasi yang emosional atau slogan yang mudah diingat akan lebih mudah mendapatkan simpati publik.

5. Kurangnya Pendidikan Politik dan Kritis Publik
Dalam banyak kasus, masyarakat belum sepenuhnya memiliki literasi politik yang memadai untuk membedakan antara retorika kosong dan program yang substansial, atau antara janji manis dan kapasitas nyata. Tingkat partisipasi yang seringkali didorong oleh emosi atau loyalitas buta, ketimbang analisis rasional terhadap visi, misi, dan kompetensi kandidat, turut memperparah kondisi ini. Hal ini memberi ruang bagi politisi untuk lebih mengandalkan pesona dan janji-janji populis daripada membangun kapasitas yang dibutuhkan untuk tata kelola yang baik.

Dampak dan Tantangan ke Depan

Dominasi popularitas di atas kapasitas bukan tanpa risiko. Ini dapat menghasilkan pemimpin yang karismatik namun minim visi, kebijakan yang tidak matang, tata kelola yang buruk, dan pembangunan yang tidak berkelanjutan. Pada akhirnya, yang dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.

Untuk menciptakan politik yang lebih substansial, diperlukan upaya kolektif. Masyarakat dituntut untuk menjadi lebih kritis, menuntut lebih dari sekadar karisma dan janji manis. Media massa perlu lebih bertanggung jawab dalam menyajikan informasi yang berimbang dan mendalam. Serta, partai politik dan politisi sendiri harus menyadari bahwa popularitas adalah gerbang, tetapi kapasitas adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik. Tanpa keseimbangan antara keduanya, politik akan selamanya menjadi panggung drama yang minim solusi nyata.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *