Ketika Politik Masuk ke Dunia Kampus dan Akademisi

Menara Gading di Pusaran Kekuasaan: Ancaman Politik bagi Otonomi Akademik

Kampus, sejak lama, diidealkan sebagai "menara gading" – sebuah ranah otonom yang terpisah dari hiruk-pikuk politik praktis. Ia adalah tempat di mana kebebasan berpikir, objektivitas ilmiah, dan pencarian kebenaran diutamakan. Kampus seharusnya menjadi kawah candradimuka bagi gagasan-gagasan baru, pusat riset yang independen, dan tempat lahirnya intelektual kritis yang mampu melihat permasalahan bangsa dari berbagai sudut pandang tanpa bias kepentingan. Namun, idealisme ini kerap diuji ketika politik praktis mulai merangsek masuk ke dalam dinding-dindingnya.

Ketika politik mulai mendominasi dunia kampus dan akademisi, garis batas antara independensi intelektual dan kepentingan kekuasaan menjadi kabur. Ini bukan hanya tentang diskusi politik di kelas atau partisipasi mahasiswa dalam gerakan sosial – hal-hal yang wajar dalam konteks pendidikan demokrasi – melainkan tentang intervensi sistematis yang mengancam integritas dan otonomi akademik itu sendiri.

Bagaimana Politik Merasuki Kampus?

Politik dapat menyusup ke kampus melalui berbagai celah, seringkali dengan cara yang halus namun destruktif:

  1. Intervensi Pendanaan: Dana riset atau operasional universitas bisa saja dikondisikan oleh kepentingan politik tertentu. Riset yang tidak sejalan dengan agenda penguasa mungkin dipersulit pendanaannya, sementara riset yang mendukung narasi politik justru dipermudah. Hal ini secara langsung mengancam objektivitas dan kebebasan penelitian.
  2. Penunjukan Pejabat Akademik: Jabatan-jabatan kunci di universitas, seperti rektor atau dekan, bisa menjadi sasaran politisasi. Penunjukan yang didasari oleh kedekatan politik daripada meritokrasi dan kapabilitas akademik dapat merusak kualitas kepemimpinan dan arah strategis institusi.
  3. Pengaruh Kurikulum dan Penelitian: Ada potensi untuk "membonsai" kurikulum atau mengarahkan topik penelitian agar sesuai dengan agenda politik. Materi yang dianggap sensitif atau mengkritisi kebijakan tertentu dapat dihilangkan, sementara topik yang mendukung narasi kekuasaan diwajibkan.
  4. Pembatasan Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat: Dosen atau mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan pemerintah atau penguasa kampus dapat menghadapi tekanan, mulai dari intimidasi, pengurangan hak-hak akademik, hingga sanksi disipliner. Hal ini menciptakan iklim ketakutan yang menghambat diskusi terbuka dan pencarian kebenaran.
  5. Instrumentalisasi Kampus untuk Kepentingan Politik: Kampus dapat dimanfaatkan sebagai panggung untuk kampanye politik, legitimasi kebijakan yang kontroversial, atau bahkan sebagai alat propaganda. Civitas akademika dipaksa untuk memberikan dukungan atau tampil dalam acara-acara yang beraroma politis.

Konsekuensi Negatif bagi Kampus dan Akademisi

Ketika politik terlalu jauh mencampuri urusan kampus, dampaknya sangat merugikan:

  • Erosi Integritas Akademik: Kebebasan riset dan pengajaran terancam. Akademisi mungkin cenderung melakukan penelitian yang "aman" atau menyuarakan pandangan yang sejalan dengan kekuasaan, bukan karena keyakinan ilmiah, tetapi demi karier atau keamanan.
  • Hilangnya Kepercayaan Publik: Jika kampus dianggap sebagai alat politik, kepercayaan publik terhadap objektivitas dan independensi institusi pendidikan tinggi akan menurun drastis. Ini merusak peran kampus sebagai suara moral dan intelektual bagi masyarakat.
  • Pengekangan Pemikiran Kritis: Lingkungan yang politis cenderung menghambat pemikiran kritis dan debat yang sehat. Mahasiswa dan dosen mungkin enggan menyuarakan ide-ide yang berbeda, padahal pemikiran kritis adalah inti dari pendidikan tinggi.
  • Kualitas Pendidikan yang Menurun: Fokus pada agenda politik dapat mengalihkan perhatian dari peningkatan kualitas pengajaran, riset fundamental, dan pengembangan ilmu pengetahuan murni.
  • Polarisasi dan Perpecahan Internal: Kampus bisa terbelah menjadi faksi-faksi politik, menciptakan ketegangan dan konflik di antara sesama mahasiswa, dosen, dan staf.

Menjaga Otonomi, Bukan Apolitis

Penting untuk membedakan antara kampus yang apolitis (tidak peduli pada isu-isu sosial dan politik) dengan kampus yang otonom (mandiri dari intervensi politik praktis). Kampus tidak boleh apolitis. Justru, ia harus menjadi pusat kajian politik, tempat lahirnya gagasan-gagasan kebijakan, dan forum bagi diskursus publik yang konstruktif. Mahasiswa dan dosen memiliki hak untuk terlibat dalam politik sebagai warga negara.

Namun, keterlibatan ini harus didasarkan pada prinsip-prinsip akademik: objektivitas, data, analisis kritis, dan kebebasan berekspresi tanpa paksaan atau tekanan dari kekuatan politik di luar maupun di dalam kampus. Peran akademisi adalah menyuarakan kebenaran ilmiah dan menjadi penyeimbang kekuasaan, bukan menjadi corong atau alat legitimasi politik.

Oleh karena itu, menjaga independensi dan otonomi kampus adalah tugas bersama seluruh civitas akademika dan masyarakat. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kualitas pendidikan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan kesehatan demokrasi suatu bangsa. Ketika menara gading kehilangan otonominya dan tunduk pada kepentingan politik sesaat, yang rugi bukan hanya kampus, tetapi masa depan bangsa itu sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *