Presidential Threshold: Jerat Konstitusional atau Pilar Demokrasi? Perdebatan Abadi dalam Sistem Pemilu Indonesia
Sistem pemilu di Indonesia selalu menjadi arena perdebatan sengit, dan salah satu isu yang tak pernah luput dari sorotan adalah keberadaan Presidential Threshold (PT) atau Ambang Batas Pencalonan Presiden. Aturan ini mewajibkan partai politik atau gabungan partai politik untuk memiliki persentase kursi tertentu di parlemen atau persentase suara nasional dari pemilihan legislatif sebelumnya, agar dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Meski tujuannya diklaim demi efisiensi dan stabilitas, PT telah menjadi sumber kontroversi yang memecah belah, memunculkan pertanyaan fundamental tentang demokrasi, kedaulatan rakyat, dan hak konstitusional.
Apa itu Presidential Threshold dan Sejarah Singkatnya?
Secara sederhana, Presidential Threshold adalah syarat minimal dukungan politik yang harus dipenuhi partai atau koalisi partai untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Di Indonesia, PT pertama kali diterapkan pada Pemilu 2004 melalui UU No. 23 Tahun 2003, dengan ambang batas 15% kursi DPR atau 20% suara sah nasional dari Pemilu Legislatif sebelumnya. Angka ini kemudian berfluktuasi namun selalu ada, bahkan pada Pemilu 2019 dan 2024 ditetapkan sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.
Argumen Pro: Stabilitas dan Efisiensi
Para pendukung Presidential Threshold umumnya berargumen bahwa aturan ini memiliki manfaat krusial bagi sistem demokrasi Indonesia:
- Penyederhanaan Pilihan dan Efisiensi: Dengan membatasi jumlah pasangan calon, PT dianggap dapat menyederhanakan pilihan bagi pemilih, mengurangi potensi fragmentasi suara, dan membuat proses kampanye serta penghitungan suara lebih efisien.
- Mendorong Koalisi Kuat: PT memaksa partai politik untuk berkoalisi dan membangun konsensus sebelum pilpres. Ini diharapkan melahirkan pemerintahan yang didukung oleh koalisi yang kuat dan stabil, sehingga memudahkan proses legislasi dan implementasi kebijakan.
- Mencegah Calon "Boneka" atau Non-Serius: Adanya ambang batas dianggap dapat menyaring calon-calon yang tidak memiliki dukungan politik yang signifikan, memastikan hanya kandidat serius dan representatif yang maju.
- Stabilitas Politik: Dengan calon yang lebih sedikit dan koalisi yang lebih solid, PT diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik pasca-pemilu, menghindari kebuntuan politik akibat terlalu banyak faksi yang bersaing.
Argumen Kontra: Kedaulatan Rakyat dan Hak Konstitusional Terkebiri
Di sisi lain, penolakan terhadap Presidential Threshold sangat kuat dan berakar pada prinsip-prinsip demokrasi yang lebih fundamental:
- Melanggar Kedaulatan Rakyat: Kritikus utama berargumen bahwa PT mereduksi hak rakyat untuk memilih pemimpinnya secara langsung dan bebas. Jika rakyat berhak memilih langsung, mengapa hak partai untuk mencalonkan dibatasi berdasarkan hasil pemilu sebelumnya yang belum tentu relevan dengan kondisi politik saat ini? Pasal 6A UUD 1945 menyatakan "Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Tidak ada frasa yang secara eksplisit menyatakan harus ada ambang batas.
- Membatasi Hak Konstitusional untuk Dipilih: PT dianggap membatasi hak warga negara untuk dicalonkan dan hak partai politik untuk mencalonkan, yang merupakan bagian dari hak politik konstitusional.
- Menciptakan Oligarki Partai dan Kartel Politik: PT cenderung menguntungkan partai-partai besar yang sudah mapan, mempersulit partai-partai kecil atau kekuatan politik baru untuk bersaing di tingkat nasional. Ini bisa menciptakan "kartel politik" di mana hanya segelintir partai yang mendominasi panggung politik.
- "Logika Terbalik" Pemilu: PT didasarkan pada hasil pemilu legislatif sebelumnya, yang berarti suara rakyat di masa lalu menentukan siapa yang berhak maju di masa depan. Padahal, dinamika politik bisa berubah drastis. Sebuah partai yang baru memenangkan kursi di parlemen pada pemilu saat ini, namun tidak memenuhi ambang batas dari pemilu sebelumnya, tetap tidak bisa mencalonkan. Ini dianggap sebagai logika terbalik.
- Mendorong Koalisi Oportunis: Alih-alih koalisi ideologis, PT seringkali memaksa partai-partai untuk membentuk koalisi yang bersifat transaksional atau oportunistis hanya demi memenuhi syarat ambang batas, tanpa kesamaan visi misi yang kuat.
Dinamika Hukum dan Politik
Kontroversi PT seringkali berujung pada gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, hingga kini, MK secara konsisten menolak gugatan tersebut, menyatakan bahwa Presidential Threshold adalah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden). Putusan MK ini menegaskan bahwa tidak ada ketentuan konstitusi yang secara eksplisit melarang atau mewajibkan PT, sehingga pengaturan detailnya diserahkan kepada legislator.
Meskipun demikian, perdebatan politik tentang PT terus bergulir, terutama menjelang setiap pemilihan umum. Partai-partai yang merasa dirugikan oleh PT akan terus menyuarakan penghapusan, sementara partai-partai besar cenderung mempertahankan aturan tersebut.
Kesimpulan: Mencari Keseimbangan Demokrasi
Presidential Threshold adalah pedang bermata dua dalam sistem demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia menawarkan janji efisiensi dan stabilitas pemerintahan. Di sisi lain, ia berpotensi menggerus prinsip kedaulatan rakyat dan membatasi hak konstitusional, menciptakan lanskap politik yang kurang inklusif dan kompetitif.
Perdebatan tentang PT mencerminkan tarik-menarik abadi antara kebutuhan akan stabilitas politik dan tuntutan akan demokrasi yang lebih partisipatif dan representatif. Menemukan titik keseimbangan yang tepat antara kedua nilai ini adalah tantangan besar bagi masa depan sistem pemilu Indonesia, demi memastikan bahwa proses demokrasi kita benar-benar mencerminkan kehendak dan kedaulatan seluruh rakyat.