Politik Agraria: Siapa Meraup Untung, Siapa Tergerus di Pusaran Tanah Air?
Politik agraria bukan sekadar urusan tanah dan sumber daya alam. Lebih dari itu, ia adalah cerminan dari struktur kekuasaan, keadilan sosial, dan arah pembangunan suatu bangsa. Di Indonesia, negara kepulauan yang kaya raya, politik agraria telah menjadi medan pertempuran abadi antara kepentingan-kepentingan yang saling bertenturan: di satu sisi ada yang meraup keuntungan besar, di sisi lain ada yang terpaksa menanggung kerugian dan pengorbanan mendalam. Pertanyaannya, siapa saja mereka?
Wajah-Wajah yang Meraup Keuntungan (Siapa yang Diuntungkan?)
-
Korporasi Raksasa (Agribisnis, Tambang, Properti):
Mereka adalah pemain utama yang paling diuntungkan dari kebijakan agraria yang cenderung berpihak pada modal besar. Dengan izin konsesi yang luas, mereka menguasai jutaan hektar lahan untuk perkebunan monokultur (sawit, karet), pertambangan (batu bara, nikel), atau pengembangan properti dan kawasan industri. Keuntungan mereka berlipat ganda melalui skala ekonomi, akses pasar global, dan dukungan regulasi yang mempermudah investasi. -
Elit Politik dan Oligarki Ekonomi:
Seringkali, keuntungan korporasi tidak terlepas dari koneksi dengan elit politik dan birokrat yang berwenang mengeluarkan izin atau merumuskan kebijakan. Ada simbiosis mutualisme di mana kepentingan bisnis diakomodasi melalui regulasi yang longgar, penegakan hukum yang lemah, atau bahkan praktik korupsi, yang pada akhirnya menguntungkan segelintir orang yang berada di puncak piramida kekuasaan dan ekonomi. -
Negara (Melalui Pendapatan dan "Pembangunan"):
Pemerintah seringkali membenarkan kebijakan agraria yang pro-investasi dengan dalih peningkatan pendapatan negara (pajak, royalti) dan percepatan pembangunan infrastruktur (jalan, pelabuhan, bandara). Proyek-proyek skala besar ini dianggap sebagai mesin pertumbuhan ekonomi, meskipun dampak sosial dan lingkungannya kerap diabaikan. -
Investor dan Spekulan Tanah:
Dengan meningkatnya nilai tanah, terutama di daerah-daerah yang dilirik untuk pembangunan atau ekspansi industri, para investor dan spekulan tanah mendapatkan keuntungan besar dari jual-beli lahan. Mereka membeli tanah dengan harga murah dari masyarakat lokal yang kurang informasi atau terdesak, lalu menjualnya kembali dengan harga berlipat ganda kepada korporasi atau pengembang.
Wajah-Wajah yang Dikorbankan (Siapa yang Dikorbankan?)
-
Petani Gurem dan Buruh Tani:
Mereka adalah korban paling langsung dari konsentrasi lahan. Petani kehilangan hak atas tanah garapan mereka akibat penggusuran, klaim sepihak, atau tekanan ekonomi yang memaksa mereka menjual tanah. Akibatnya, mereka terpinggirkan, menjadi buruh tani dengan upah rendah, atau bahkan urbanisasi tanpa keahlian yang memadai, terjebak dalam lingkaran kemiskinan. -
Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal:
Bagi masyarakat adat, tanah bukan hanya aset ekonomi, tetapi juga identitas, budaya, dan sumber spiritual. Pengambilalihan wilayah adat untuk konsesi perkebunan atau tambang berarti hilangnya hutan sebagai sumber pangan dan obat, rusaknya situs-situs sakral, dan terkikisnya kearifan lokal. Mereka seringkali menghadapi diskriminasi dan kekerasan dalam mempertahankan hak-haknya. -
Lingkungan Hidup dan Keanekaragaman Hayati:
Eksploitasi agraria skala besar, terutama melalui perkebunan monokultur dan pertambangan, menyebabkan deforestasi masif, hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran tanah dan air, serta peningkatan emisi gas rumah kaca. Dampak ekologis ini tidak hanya merugikan generasi sekarang tetapi juga mengancam keberlanjutan hidup di masa depan. -
Generasi Mendatang:
Praktik agraria yang tidak berkelanjutan menguras sumber daya alam tanpa memikirkan dampaknya bagi generasi mendatang. Mereka akan mewarisi tanah yang rusak, air yang tercemar, dan ekosistem yang rapuh, yang pada gilirannya akan membatasi potensi pembangunan dan kesejahteraan mereka.
Pusaran Konflik dan Urgensi Perubahan
Pusaran politik agraria ini menciptakan konflik yang tak berkesudahan: konflik agraria, sengketa lahan, bahkan kekerasan. Data menunjukkan ribuan kasus konflik agraria terjadi setiap tahun, melibatkan jutaan hektar lahan dan ribuan kepala keluarga.
Mengatasi ketimpangan ini bukanlah perkara mudah, namun sangat mendesak. Diperlukan reforma agraria yang sejati, yang bukan hanya sekadar redistribusi tanah, tetapi juga mencakup:
- Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat: Mengembalikan hak ulayat dan wilayah adat yang telah dirampas.
- Penegakan Hukum yang Adil: Memastikan semua pihak tunduk pada hukum, tidak ada lagi impunitas bagi pelaku perampasan tanah.
- Pembangunan Berkelanjutan: Mengedepankan prinsip keadilan ekologis dan sosial dalam setiap kebijakan agraria.
- Partisipasi Rakyat: Melibatkan masyarakat secara aktif dalam perencanaan dan implementasi kebijakan agraria.
- Audit Agraria: Meninjau ulang semua izin konsesi yang bermasalah dan mengembalikan tanah kepada rakyat yang berhak.
Tanah adalah warisan dan masa depan. Politik agraria yang berpihak pada keadilan dan keberlanjutan adalah kunci untuk menciptakan Indonesia yang lebih makmur, adil, dan lestari, di mana tidak ada lagi yang terpaksa dikorbankan demi keuntungan segelintir pihak.