Inklusi yang Tertunda: Mengapa Isu Disabilitas Masih Menjadi Catatan Kaki dalam Politik Kesetaraan?
Politik kesetaraan adalah janji mulia sebuah bangsa untuk memastikan setiap warganya memiliki hak dan kesempatan yang sama, tanpa terkecuali. Ini adalah landasan peradaban yang beradab, di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan kekayaan. Namun, di tengah hiruk-pikuk perjuangan untuk kesetaraan gender, ras, agama, dan kelas, isu disabilitas seringkali masih terpinggirkan, bahkan menjadi catatan kaki yang terlupakan dalam agenda politik. Mengapa demikian? Dan bagaimana kita bisa mengubahnya?
Politik Kesetaraan yang Belum Utuh
Politik kesetaraan, secara ideal, mencakup upaya sistematis untuk menghilangkan diskriminasi dan hambatan struktural yang menghalangi partisipasi penuh kelompok minoritas atau terpinggirkan. Untuk isu disabilitas, ini berarti beralih dari model amal (belas kasihan) ke model hak asasi manusia (kewajiban negara dan masyarakat). Individu dengan disabilitas bukan lagi objek yang dikasihani, melainkan subjek dengan hak-hak yang harus dihormati dan difasilitasi.
Namun, realitasnya jauh dari ideal. Diskusi politik seringkali luput membahas aksesibilitas fisik dan digital, pendidikan inklusif, lapangan kerja yang adil, atau layanan kesehatan yang responsif disabilitas. Isu-isu ini, yang fundamental bagi jutaan penyandang disabilitas, kerap kali tenggelam di bawah gelombang isu-isu lain yang dianggap lebih "seksi" atau mendesak oleh para politisi dan media.
Akar Permasalahan: Mengapa Disabilitas Terabaikan?
Ada beberapa faktor kompleks yang berkontribusi pada pengabaian isu disabilitas dalam politik kesetaraan:
-
Stigma dan Persepsi yang Usang:
Masyarakat masih sering memandang disabilitas sebagai tragedi pribadi atau kutukan, bukan sebagai bagian alami dari keragaman manusia. Persepsi ini melahirkan stigma dan diskriminasi yang mengakar, membuat penyandang disabilitas dianggap tidak mampu atau tidak relevan dalam kancah politik dan pembangunan. Para pembuat kebijakan sendiri mungkin masih terjebak dalam pola pikir ini, sehingga isu disabilitas tidak dipandang sebagai prioritas utama. -
Kurangnya Representasi Politik:
Suara penyandang disabilitas jarang terdengar langsung di parlemen, partai politik, atau lembaga pemerintahan. Keterbatasan akses, stigma, dan kurangnya dukungan membuat mereka sulit menembus arena politik. Akibatnya, kebijakan seringkali dirancang tanpa perspektif dan pengalaman langsung dari penyandang disabilitas, yang pada gilirannya menghasilkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan kontraproduktif. -
Data dan Riset yang Minim:
Basis data yang akurat dan komprehensif mengenai jumlah penyandang disabilitas, jenis disabilitas, serta tantangan yang mereka hadapi di berbagai sektor masih sangat terbatas. Tanpa data yang kuat, sulit bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti, mengalokasikan anggaran yang tepat, dan mengukur dampak program. Isu disabilitas menjadi "tak terlihat" dalam statistik, dan karena itu, seringkali "tak terdengar" dalam perumusan kebijakan. -
Prioritas Kebijakan yang Tidak Merata:
Dalam lanskap politik yang kompetitif, isu-isu yang memiliki daya tarik elektoral tinggi atau yang mendapat sorotan media lebih besar cenderung diprioritaskan. Isu disabilitas, yang seringkali dianggap sebagai "niche" atau hanya menyentuh kelompok tertentu, seringkali kalah bersaing dengan isu-isu ekonomi makro, keamanan, atau politik identitas yang lebih luas. -
Keterbatasan Sumber Daya dan Implementasi:
Meskipun ada regulasi atau undang-undang tentang hak-hak penyandang disabilitas, implementasinya seringkali lemah karena keterbatasan anggaran, kurangnya kapasitas aparatur negara, atau ketidakpahaman di tingkat lokal. Anggaran yang dialokasikan seringkali minim atau tidak responsif disabilitas, sehingga program-program inklusi tidak berjalan optimal.
Jalan Menuju Inklusi Sejati
Untuk mengangkat isu disabilitas dari catatan kaki menjadi agenda utama politik kesetaraan, diperlukan upaya kolektif dan sistematis:
-
Edukasi dan Kampanye Kesadaran: Mengubah stigma dan persepsi masyarakat adalah langkah pertama. Kampanye edukasi yang masif dan berkelanjutan diperlukan untuk mempromosikan model sosial disabilitas, menyoroti potensi penyandang disabilitas, dan membangun empati.
-
Penguatan Representasi Politik: Mendorong dan mendukung penyandang disabilitas untuk terlibat aktif dalam politik, baik sebagai pemilih, aktivis, maupun calon legislatif atau pejabat publik. Kuota khusus atau program mentorship dapat menjadi jembatan awal.
-
Data dan Riset yang Komprehensif: Pemerintah harus berinvestasi dalam pengumpulan data disabilitas yang akurat, terpilah, dan mudah diakses. Data ini harus menjadi dasar bagi perencanaan kebijakan, pengalokasian anggaran, dan evaluasi program.
-
Integrasi Isu Disabilitas dalam Semua Kebijakan: Isu disabilitas tidak boleh lagi menjadi "silo" atau hanya menjadi tanggung jawab kementerian sosial. Setiap kementerian dan lembaga harus memiliki perspektif inklusi disabilitas dalam merancang kebijakan mereka, mulai dari infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi.
-
Penguatan Regulasi dan Implementasi: Memastikan undang-undang dan peraturan yang ada ditegakkan dengan tegas, serta mengembangkan regulasi baru yang lebih responsif. Alokasi anggaran yang memadai dan responsif disabilitas adalah kunci keberhasilan implementasi.
Politik kesetaraan yang sejati tidak akan pernah tercapai jika sebagian dari warganya masih tertinggal dan terabaikan. Mengintegrasikan isu disabilitas ke dalam inti perdebatan dan kebijakan politik bukan hanya tentang belas kasihan, tetapi tentang keadilan, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat yang lebih kuat, tangguh, dan inklusif. Sudah saatnya kita memastikan bahwa suara penyandang disabilitas bukan lagi catatan kaki, melainkan bab penting dalam narasi kesetaraan bangsa.












