Politik Sektarian: Api dalam Sekam Negara Multikultural
Di tengah hiruk pikuk globalisasi dan arus informasi yang tak terbendung, konsep negara multikultural kerap digaungkan sebagai cerminan kemajuan peradaban. Keberagaman etnis, agama, bahasa, dan budaya dipandang sebagai kekayaan yang tak ternilai, pondasi bagi masyarakat yang inklusif dan dinamis. Namun, di balik narasi indah ini, tersembunyi sebuah ancaman senyap yang dapat merobek jalinan kebangsaan: politik sektarian. Ini adalah api dalam sekam yang, jika tak ditangani, mampu membakar habis fondasi persatuan di negara-negara yang sejatinya dibangun di atas pilar keberagaman.
Apa Itu Politik Sektarian?
Politik sektarian adalah praktik di mana identitas kelompok (agama, etnis, suku, ras, atau bahkan ideologi sempit) dimanipulasi dan dieksploitasi untuk kepentingan politik, kekuasaan, atau keuntungan tertentu. Ini bukan sekadar pengakuan atas identitas atau perjuangan hak-hak kelompok minoritas yang sah. Sebaliknya, politik sektarian secara sengaja mempolitisasi perbedaan, mengadu domba satu kelompok dengan kelompok lain, dan membangun narasi "kami versus mereka." Tujuannya adalah untuk memobilisasi dukungan berdasarkan loyalitas primordial, bukan berdasarkan visi, program, atau ideologi politik yang rasional dan inklusif.
Bahaya Laten di Negara Multikultural
Di negara multikultural, politik sektarian menjadi sangat berbahaya karena beberapa alasan fundamental:
-
Merobek Kohesi Sosial: Negara multikultural hidup dari kemampuan warganya untuk berdampingan dalam perbedaan. Politik sektarian secara sistematis merusak kepercayaan antar kelompok, menumbuhkan kecurigaan, prasangka, dan kebencian. Masyarakat yang sebelumnya harmonis bisa terbelah menjadi faksi-faksi yang saling curiga, bahkan bermusuhan.
-
Memicu Konflik dan Kekerasan: Dari retorika yang memecah belah, politik sektarian dapat dengan mudah bereskalasi menjadi friksi sosial, diskriminasi, hingga konflik terbuka dan kekerasan. Sejarah telah menunjukkan bagaimana manipulasi identitas telah menyebabkan genosida, perang saudara, dan krisis kemanusiaan yang tak terhitung jumlahnya di berbagai belahan dunia.
-
Melemahkan Institusi Negara: Ketika loyalitas primordial lebih diutamakan daripada hukum dan konstitusi, institusi negara seperti peradilan, kepolisian, atau birokrasi menjadi rentan disusupi dan dimanipulasi. Keadilan menjadi bias, pelayanan publik menjadi diskriminatif, dan legitimasi pemerintah terkikis, membuka pintu bagi otoritarianisme atau anarki.
-
Menghambat Pembangunan dan Kemajuan: Lingkungan yang tidak stabil akibat polarisasi sektarian akan menakuti investor, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mengalihkan fokus pembangunan dari isu-isu substansial (pendidikan, kesehatan, infrastruktur) ke penyelesaian konflik internal. Potensi sumber daya manusia dan alam menjadi tidak optimal.
-
Mengikis Identitas Nasional: Politik sektarian mempromosikan identitas kelompok yang sempit di atas identitas kebangsaan yang lebih luas. Lambat laun, rasa memiliki terhadap negara kesatuan tergerus, digantikan oleh kesetiaan buta pada kelompok. Ini adalah resep menuju disintegrasi dan perpecahan bangsa.
Mekanisme Penyebaran "Api dalam Sekam"
Politik sektarian tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh subur melalui:
- Elit Politik Oportunis: Yang memanfaatkan isu identitas untuk meraih atau mempertahankan kekuasaan.
- Penyebaran Disinformasi dan Hoaks: Terutama melalui media sosial, untuk memicu ketakutan dan kebencian terhadap "kelompok lain."
- Kurangnya Literasi Politik dan Media: Masyarakat yang kurang kritis mudah terpengaruh oleh narasi yang memecah belah.
- Kesenjangan Sosial dan Ekonomi: Yang dapat dieksploitasi sebagai "bahan bakar" bagi konflik identitas.
Menghadapi Api dalam Sekam
Menyadari bahaya laten ini, negara multikultural harus bersikap proaktif. Beberapa langkah krusial meliputi:
- Pendidikan Inklusif dan Toleransi: Membangun kurikulum yang menekankan pentingnya keberagaman, empati, dan pemikiran kritis sejak dini.
- Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil: Tidak pandang bulu terhadap siapapun yang mencoba memecah belah bangsa dengan narasi sektarian atau melakukan tindak diskriminasi dan kekerasan.
- Kepemimpinan yang Visioner dan Inklusif: Elit politik harus menjadi teladan dalam mempersatukan, bukan memecah belah, serta fokus pada isu-isu substantif yang menyentuh semua lapisan masyarakat.
- Penguatan Masyarakat Sipil: Organisasi masyarakat, tokoh agama, dan akademisi memiliki peran penting dalam menyuarakan persatuan, melawan narasi kebencian, dan mempromosikan dialog antar-kelompok.
- Literasi Media dan Digital: Mendidik masyarakat untuk memverifikasi informasi, mengenali hoaks, dan tidak mudah terprovokasi oleh konten yang bersifat provokatif.
Kesimpulan
Politik sektarian adalah ancaman nyata bagi eksistensi dan kemajuan negara multikultural. Ia adalah api dalam sekam yang terus membara, siap melahap fondasi persatuan jika tidak dipadamkan. Tanggung jawab untuk mencegahnya bukan hanya ada di pundak pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Dengan kesadaran kolektif, komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan, dan tindakan nyata untuk merawat persatuan dalam keberagaman, kita dapat memastikan bahwa api dalam sekam ini tidak akan pernah menjadi kobaran yang memusnahkan. Hanya dengan begitu, cita-cita negara multikultural yang damai, adil, dan sejahtera dapat terwujud.