Bagaimana Politik Menggiring Narasi dalam Dunia Pendidikan

Pendidikan dalam Cengkeraman Politik: Membongkar Narasi yang Dibentuk dan Dampaknya pada Generasi Masa Depan

Pendidikan seringkali digambarkan sebagai mercusuar pencerahan, gerbang menuju masa depan yang lebih baik, dan fondasi pembangunan suatu bangsa. Namun, di balik cita-cita luhur tersebut, dunia pendidikan tak jarang menjadi medan kontestasi yang senyap, di mana kekuatan politik menggiring narasi, membentuk pemikiran, dan bahkan mengukir ulang sejarah. Fenomena ini bukanlah hal baru, tetapi dampaknya terhadap kualitas pendidikan dan masa depan generasi penerus patut menjadi perhatian serius.

Mengapa Politik Berkeinginan Menggiring Narasi Pendidikan?

Intervensi politik dalam pendidikan bukanlah tanpa alasan. Ada beberapa motif utama yang mendorong aktor politik untuk "membentuk" narasi di lembaga-lembaga pendidikan:

  1. Pembentukan Identitas dan Ideologi: Pendidikan adalah alat paling efektif untuk menanamkan nilai-nilai, ideologi, dan identitas nasional sejak dini. Kurikulum, buku ajar, dan metode pengajaran dapat dirancang untuk memupuk loyalitas pada negara, partai politik tertentu, atau pandangan dunia yang diinginkan penguasa.
  2. Kontrol Sosial dan Stabilitas: Dengan mengontrol narasi pendidikan, pemerintah atau kelompok politik dapat memastikan bahwa masyarakat tumbuh dengan pemahaman yang seragam tentang tatanan sosial, sejarah, dan peran mereka di dalamnya, sehingga mengurangi potensi disrupsi atau tantangan terhadap status quo.
  3. Kebutuhan Ekonomi dan Pembangunan: Politik juga menggiring narasi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi negara. Misalnya, penekanan pada STEM (Sains, Teknologi, Teknik, Matematika) atau kejuruan tertentu dapat menjadi prioritas karena dianggap vital untuk pertumbuhan ekonomi, terkadang dengan mengorbankan bidang lain seperti humaniora atau seni.
  4. Legitimasi Kekuasaan: Narasi sejarah yang dibentuk ulang, keberhasilan pemimpin yang diagungkan, atau narasi tentang ancaman eksternal yang disematkan pada kelompok tertentu, semuanya dapat digunakan untuk melegitimasi kekuasaan yang sedang berjalan atau mendiskreditkan lawan politik.

Mekanisme Politik Menggiring Narasi

Bagaimana politik secara praktis menggiring narasi dalam dunia pendidikan?

  1. Kurikulum dan Buku Ajar: Ini adalah jalur paling langsung. Politik dapat menentukan mata pelajaran apa yang diajarkan, materi apa yang dimasukkan atau dihilangkan, serta bagaimana sebuah topik disajikan. Misalnya, penulisan ulang sejarah yang menguntungkan rezim tertentu, atau penekanan pada aspek agama/ideologi tertentu.
  2. Kebijakan Pendidikan: Kebijakan seperti sistem ujian nasional, standar kelulusan, atau bahkan otonomi sekolah dapat diwarnai kepentingan politik. Perubahan kebijakan seringkali mencerminkan prioritas naratif yang ingin dibangun.
  3. Pelatihan dan Sertifikasi Guru: Guru adalah ujung tombak penyampaian narasi. Melalui program pelatihan, pengembangan profesional, dan persyaratan sertifikasi, narasi politik dapat disisipkan, membentuk cara guru memandang dan mengajarkan materi.
  4. Alokasi Anggaran: Dana pendidikan dapat dialokasikan secara selektif untuk mendukung program-program atau inisiatif yang sejalan dengan narasi politik tertentu, sementara program lain yang tidak relevan atau bahkan bertentangan mungkin kekurangan dukungan.
  5. Wacana Publik dan Media: Para politisi dan media yang terafiliasi seringkali menciptakan wacana publik tentang apa yang "benar" atau "penting" dalam pendidikan, mempengaruhi persepsi masyarakat dan menekan lembaga pendidikan untuk mengikuti arus.

Dampak pada Kualitas Pendidikan dan Generasi Masa Depan

Ketika pendidikan didominasi oleh narasi politik, konsekuensinya bisa sangat merugikan:

  • Tergerusnya Objektivitas dan Berpikir Kritis: Siswa tidak diajarkan untuk menganalisis secara mandiri atau mempertanyakan informasi, melainkan menerima narasi tunggal sebagai kebenaran mutlak. Ini menghambat kemampuan berpikir kritis dan inovasi.
  • Indoktrinasi, Bukan Pendidikan: Tujuan pendidikan bergeser dari mengembangkan potensi individu menjadi alat untuk menanamkan ideologi atau pandangan tertentu, mengubah siswa menjadi agen pasif, bukan pemikir aktif.
  • Polarisasi dan Perpecahan: Narasi politik yang bias dapat menumbuhkan intoleransi terhadap perbedaan, menciptakan perpecahan di antara siswa dan masyarakat berdasarkan latar belakang atau pandangan yang berbeda.
  • Ketidakrelevanan Kurikulum: Kurikulum yang dibentuk oleh kepentingan politik jangka pendek mungkin tidak relevan dengan kebutuhan global, perkembangan ilmu pengetahuan, atau tantangan masa depan yang sesungguhnya.
  • Erosi Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat menyadari bahwa pendidikan telah diinstrumentalisasi, kepercayaan terhadap sistem pendidikan akan menurun, berdampak pada partisipasi dan dukungan.

Membangun Pendidikan yang Bebas Narasi Politik

Untuk menjaga integritas pendidikan, diperlukan upaya kolektif untuk membebaskannya dari cengkeraman narasi politik:

  1. Otonomi Lembaga Pendidikan: Memberikan otonomi lebih besar kepada lembaga pendidikan, termasuk universitas dan sekolah, dalam merancang kurikulum dan metode pengajaran berdasarkan keahlian akademik, bukan tekanan politik.
  2. Pelibatan Ahli dan Masyarakat Sipil: Proses pengembangan kurikulum dan kebijakan pendidikan harus melibatkan para ahli pendidikan, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil secara transparan, bukan hanya politisi.
  3. Penguatan Profesionalisme Guru: Guru harus diberdayakan untuk mengajar secara objektif dan mendorong berpikir kritis, tanpa rasa takut akan intervensi atau sanksi politik.
  4. Pendidikan Berbasis Kompetensi dan Karakter: Menggeser fokus dari hafalan narasi tertentu menuju pengembangan kompetensi esensial dan karakter yang kuat, seperti etika, kolaborasi, kreativitas, dan kemampuan adaptasi.
  5. Literasi Media dan Informasi: Mengajarkan siswa untuk kritis terhadap informasi dari berbagai sumber, termasuk media dan narasi politik, sehingga mereka dapat membentuk pandangan mereka sendiri.

Pendidikan adalah investasi terbesar suatu bangsa untuk masa depan. Ketika politik menggiring narasi di dalamnya, yang dipertaruhkan bukanlah sekadar kurikulum atau buku ajar, melainkan pikiran dan jiwa generasi penerus. Penting bagi kita semua, sebagai orang tua, guru, siswa, dan warga negara, untuk menjaga agar mercusuar pendidikan tetap menyala terang dengan cahaya kebenaran, objektivitas, dan kebebasan berpikir, jauh dari bayang-bayang kepentingan politik sesaat. Hanya dengan demikian, pendidikan dapat benar-benar menjadi pilar kemajuan dan pencerahan bangsa.

Exit mobile version