Faktor Gender Dalam Perilaku Kriminal dan Pendekatan Penanganannya

Cermin yang Berbeda: Mengurai Dimensi Gender dalam Perilaku Kriminal dan Pendekatan Penanganannya

Perilaku kriminal adalah fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari kondisi sosial-ekonomi, psikologis, hingga lingkungan. Namun, satu dimensi yang seringkali luput dari perhatian, atau disederhanakan, adalah faktor gender. Perbedaan biologis, peran sosial, ekspektasi budaya, dan pengalaman hidup yang terkait dengan gender secara signifikan membentuk pola, motivasi, dan respons terhadap perilaku kriminal, baik pada pelaku maupun sistem peradilan.

Memahami Perbedaan Gender dalam Perilaku Kriminal

Secara statistik, laki-laki jauh lebih sering terlibat dalam tindak kriminal dibandingkan perempuan, terutama dalam kejahatan kekerasan. Namun, mengabaikan peran perempuan atau menyamaratakan semua kasus hanya akan menghambat upaya penanganan yang efektif. Perilaku kriminal yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan seringkali memiliki akar dan manifestasi yang berbeda:

  1. Faktor Sosiologis dan Budaya:

    • Maskulinitas Toksik: Konsep maskulinitas yang kaku dan toksik sering mendorong laki-laki untuk menunjukkan kekuatan, dominasi, dan agresi sebagai bentuk validasi. Kegagalan mencapai standar maskulin tertentu (misalnya, dalam hal ekonomi atau status) dapat memicu frustrasi dan mendorong perilaku kriminal.
    • Peran Gender Perempuan: Perempuan secara tradisional dihadapkan pada ekspektasi untuk bersikap patuh, emosional, dan pasif. Ketika perempuan terlibat dalam kejahatan, seringkali itu terkait dengan kondisi ekonomi yang mendesak, perlindungan diri dari kekerasan, atau sebagai akibat dari keterlibatan dengan pasangan kriminal. Kejahatan yang dilakukan perempuan cenderung non-kekerasan (misalnya, penipuan, pencurian kecil) atau terkait dengan narkoba.
    • Ketidaksetaraan Ekonomi: Perempuan yang menghadapi diskriminasi dalam akses pendidikan dan pekerjaan mungkin terdorong ke dalam aktivitas ilegal sebagai sarana bertahan hidup.
  2. Faktor Psikologis:

    • Trauma dan Victimisasi: Sejumlah besar perempuan yang melakukan kejahatan adalah korban kekerasan fisik, seksual, atau emosional sebelumnya. Kejahatan yang mereka lakukan bisa jadi respons terhadap trauma yang tidak tertangani, mencari pelarian (misalnya melalui narkoba), atau dalam kasus ekstrem, tindakan pembelaan diri.
    • Pengelolaan Emosi: Perbedaan dalam sosialisasi gender dapat memengaruhi cara individu mengelola emosi. Laki-laki mungkin diajarkan untuk menekan emosi dan melampiaskannya melalui agresi, sementara perempuan mungkin lebih cenderung internalisasi atau mencari dukungan sosial (meskipun tidak selalu berhasil).
  3. Faktor Biologis (dengan catatan):

    • Meskipun ada perbedaan hormonal dan fisik, faktor biologis tidak secara deterministik menyebabkan perilaku kriminal. Namun, interaksi kompleks antara biologi, lingkungan, dan pengalaman hidup dapat memengaruhi kecenderungan tertentu, misalnya tingkat agresi. Penting untuk tidak jatuh pada determinisme biologis.

Pendekatan Penanganan yang Sensitif Gender

Memahami faktor-faktor di atas krusial untuk merancang strategi penanganan yang lebih efektif dan adil. Pendekatan yang sensitif gender berarti mengakui dan merespons kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan dalam sistem peradilan pidana dan rehabilitasi.

  1. Pencegahan Berbasis Akar Masalah:

    • Edukasi Gender yang Inklusif: Sejak dini, mendidik tentang kesetaraan gender, menantang stereotip maskulinitas dan feminitas toksik, serta mengajarkan cara pengelolaan konflik yang sehat.
    • Pemberdayaan Ekonomi Perempuan: Meningkatkan akses perempuan terhadap pendidikan, pelatihan keterampilan, dan peluang kerja yang layak untuk mengurangi kerentanan ekonomi yang dapat memicu kejahatan.
    • Program Anti-Kekerasan: Mencegah kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan berbasis gender, yang seringkali menjadi pemicu kejahatan bagi korban maupun pelaku.
  2. Sistem Peradilan Pidana yang Adaptif:

    • Pelatihan Penegak Hukum: Memberikan pelatihan kepada polisi, jaksa, dan hakim tentang dinamika gender dalam kejahatan, bias gender yang mungkin ada, dan pentingnya pendekatan berbasis trauma, terutama saat menangani perempuan pelaku.
    • Penjara dan Fasilitas yang Sensitif Gender: Menyediakan lingkungan yang aman dan sesuai untuk perempuan narapidana, yang seringkali memiliki kebutuhan kesehatan fisik dan mental yang berbeda, terutama terkait trauma.
  3. Rehabilitasi dan Reintegrasi yang Disesuaikan:

    • Terapi Berbasis Trauma: Sangat penting bagi perempuan pelaku kejahatan untuk mendapatkan terapi yang mengatasi akar trauma mereka.
    • Program Rehabilitasi untuk Laki-laki: Fokus pada pengelolaan kemarahan, pengembangan empati, dan restrukturisasi konsep maskulinitas yang lebih sehat.
    • Pelatihan Keterampilan dan Dukungan Psikososial: Memberikan pelatihan vokasi yang relevan dengan pasar kerja saat ini, serta dukungan psikososial untuk membantu reintegrasi pelaku ke masyarakat, dengan mempertimbangkan tantangan spesifik yang dihadapi laki-laki dan perempuan pasca-pembebasan.
    • Dukungan Keluarga: Mempertimbangkan peran keluarga dalam proses rehabilitasi, terutama bagi perempuan yang seringkali adalah ibu tunggal.

Kesimpulan

Perilaku kriminal bukanlah fenomena monolitik, dan faktor gender memainkan peran krusial dalam membentuknya. Mengabaikan dimensi ini berarti kehilangan kesempatan untuk merancang intervensi yang benar-benar efektif dan adil. Dengan mengadopsi pendekatan yang sensitif gender, yang mengakui perbedaan dan kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan, kita dapat bergerak menuju sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi, rehabilitatif, dan pada akhirnya, masyarakat yang lebih aman dan setara. Mengurai cermin yang berbeda ini adalah langkah penting menuju pemahaman yang lebih dalam dan solusi yang lebih komprehensif.

Exit mobile version