Mengapa Politik Identitas Masih Menjadi Senjata Utama dalam Pemilu

Politik Identitas: Mengapa Ia Masih Menjadi Raja di Medan Pertarungan Pemilu?

Setiap kali musim pemilu tiba, di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, satu fenomena yang nyaris tak terhindarkan adalah kemunculan politik identitas. Meskipun kerap dicap sebagai praktik yang memecah belah dan tidak substansial, kenyataannya adalah ia masih menjadi "senjata" yang sangat ampuh dan efektif dalam menarik serta mengkonsolidasi suara. Mengapa demikian? Mengapa di tengah tuntutan rasionalitas dan program kerja, politik identitas tetap menjadi primadona di panggung politik?

Untuk memahami ini, kita perlu menyelami beberapa alasan fundamental:

1. Sifat Dasar Manusia: Kebutuhan Akan Afiliasi dan Rasa Memiliki
Manusia adalah makhluk sosial. Sejak lahir, kita cenderung mencari kelompok dan identitas yang membuat kita merasa aman, dimengerti, dan memiliki tujuan bersama. Identitas ini bisa beragam: suku, agama, ras, gender, wilayah, bahkan hobi atau profesi. Politik identitas bekerja pada level fundamental ini. Ketika seorang kandidat atau partai mampu mengasosiasikan diri dengan identitas kelompok tertentu, mereka secara otomatis mendapatkan loyalitas dan dukungan emosional yang kuat dari anggota kelompok tersebut. Ini bukan sekadar pilihan rasional, melainkan respons terhadap kebutuhan psikologis mendasar.

2. Emosi Lebih Kuat dari Rasionalitas
Wacana kebijakan, data ekonomi, dan program kerja yang rumit seringkali sulit dicerna oleh sebagian besar pemilih. Sebaliknya, narasi yang menyentuh emosi — seperti kebanggaan akan identitas kelompok, ketakutan terhadap "pihak lain," atau janji untuk melindungi "nilai-nilai kita" — jauh lebih mudah untuk dipahami dan membakar semangat. Politik identitas mampu menciptakan narasi "kami" versus "mereka" yang sederhana namun sangat kuat. Ini mengaktifkan naluri dasar perlindungan kelompok, membuat pemilih merasa bahwa suara mereka adalah untuk membela diri dan identitas mereka dari ancaman.

3. Efisiensi dalam Mobilisasi dan Konsolidasi Suara
Dari sudut pandang strategis, politik identitas adalah alat yang sangat efisien untuk mobilisasi massa. Daripada harus meyakinkan setiap individu dengan argumen kebijakan yang mendalam, politisi cukup menyasar sentimen kolektif sebuah kelompok. Dengan mengangkat isu-isu yang relevan dengan identitas tertentu, mereka dapat dengan cepat mengumpulkan basis suara yang solid dan loyal. Kelompok-kelompok ini kemudian menjadi mesin kampanye organik yang kuat, menyebarkan pesan dan memobilisasi anggota mereka sendiri.

4. Erosi Wacana Kebijakan dan Polarisasi Informasi
Di era modern, di mana perhatian publik semakin terfragmentasi dan informasi disebarluaskan secara instan melalui media sosial, seringkali ada erosi dalam kualitas wacana kebijakan. Pemilih cenderung terpapar informasi yang selaras dengan pandangan mereka (echo chambers), yang membuat narasi identitas semakin mudah mengakar. Ketika perdebatan kebijakan yang substansial kurang menonjol, politik identitas mengisi kekosongan tersebut, menawarkan narasi yang lebih mudah dicerna dan lebih menggugah emosi. Disinformasi dan hoaks pun seringkali dimanfaatkan untuk memperkuat polarisasi identitas, menciptakan musuh bersama dan memperketat loyalitas kelompok.

5. Kemudahan Eksploitasi Isu Sensitif
Identitas seringkali melekat pada isu-isu yang sangat sensitif dan pribadi, seperti agama, kepercayaan, atau sejarah kolektif. Politisi yang cerdik dapat mengeksploitasi sensitivitas ini untuk keuntungan elektoral. Dengan sedikit sentuhan retorika provokatif, mereka bisa memicu respons emosional yang masif, menggeser fokus dari kinerja atau rekam jejak, dan mengalihkan perhatian ke "perang" identitas yang lebih mendalam.

Kesimpulan

Politik identitas tetap menjadi senjata utama dalam pemilu bukan karena ia adalah praktik yang ideal, melainkan karena ia efektif. Ia berakar pada psikologi dasar manusia, memanfaatkan kekuatan emosi di atas rasionalitas, dan menawarkan jalur efisien untuk mobilisasi suara. Selama kebutuhan akan afiliasi, ketakutan akan "yang lain," dan kemudahan narasi emosional lebih dominan daripada wacana kebijakan yang mendalam, politik identitas akan terus menjadi "raja" di medan pertarungan pemilu. Tantangan bagi demokrasi adalah bagaimana menggeser fokus dari polarisasi identitas menuju dialog yang lebih konstruktif dan perdebatan substansial demi kemajuan bersama.

Exit mobile version