Milenial dan Politik: Mengurai Jarak, Merajut Harapan Keterlibatan di Era Digital
Di tengah hiruk-pikuk informasi dan perubahan lanskap sosial, generasi Milenial—mereka yang lahir antara awal 1980-an hingga pertengahan 1990-an—seringkali dihadapkan pada stigma sebagai generasi yang apatis terhadap politik. Cap "golput" atau "tidak peduli" kerap dilekatkan, menimbulkan pertanyaan krusial: Apakah masih ada harapan keterlibatan politik yang berarti dari generasi ini? Jawabannya, sesungguhnya, lebih kompleks dan jauh dari sekadar hitam-putih.
Persepsi vs. Realitas: Mengapa Ada Jarak?
Ada beberapa faktor yang berkontribusi pada persepsi jarak antara Milenial dan politik tradisional:
-
Kelelahan Politik dan Skeptisisme: Milenial tumbuh di era di mana korupsi dan janji politik yang tak terpenuhi menjadi berita harian. Ini memicu tingkat skeptisisme yang tinggi terhadap institusi politik dan politisi. Mereka mendambakan transparansi, akuntabilitas, dan integritas, yang seringkali sulit ditemukan dalam praktik politik konvensional.
-
Pergeseran Prioritas dan Nilai: Isu-isu yang digemari Milenial cenderung berpusat pada lingkungan, hak asasi manusia, kesetaraan gender, kesehatan mental, dan keadilan sosial. Sementara itu, narasi politik tradisional seringkali masih berkutat pada isu-isu ekonomi makro, infrastruktur, atau persaingan antar-partai yang terasa jauh dari keseharian mereka.
-
Bentuk Keterlibatan yang Berbeda: Milenial adalah generasi digital native. Cara mereka berinteraksi, berorganisasi, dan menyuarakan pendapat sangat dipengaruhi oleh teknologi. Demonstrasi fisik mungkin masih ada, tetapi aktivisme digital—melalui media sosial, petisi online, kampanye hashtag, atau crowdfunding untuk suatu tujuan—menjadi arena utama mereka. Politik tradisional yang lamban beradaptasi dengan platform ini seringkali gagal menangkap semangat keterlibatan mereka.
-
Kurangnya Representasi: Banyak Milenial merasa bahwa suara dan perspektif mereka kurang terwakili dalam struktur kekuasaan politik yang didominasi generasi sebelumnya. Hal ini membuat mereka merasa tidak ada saluran efektif untuk perubahan dari dalam sistem.
Wajah Sebenarnya Keterlibatan Milenial: Lebih dari Sekadar Golput
Meskipun skeptis terhadap politik konvensional, bukan berarti Milenial apatis. Sebaliknya, mereka adalah generasi yang sangat peduli, namun mengekspresikan kepeduliannya dengan cara yang berbeda:
-
Aktivisme Isu (Issue-Based Activism): Milenial lebih tertarik pada isu spesifik daripada afiliasi partai. Mereka akan bergerak masif untuk isu perubahan iklim, anti-kekerasan, atau keadilan bagi kelompok minoritas, terlepas dari siapa partai yang mengusungnya.
-
Partisipasi Digital yang Masif: Media sosial bukan hanya alat hiburan, melainkan medan perang ide dan alat mobilisasi. Sebuah isu yang viral bisa memicu gelombang dukungan atau penolakan yang mampu mempengaruhi kebijakan publik atau citra politisi. Mereka adalah "citizen journalist" dan "citizen activist" yang aktif.
-
Konsumerisme Etis: Keterlibatan politik Milenial juga merambah ke pilihan konsumsi. Mereka cenderung mendukung bisnis yang memiliki nilai-nilai sosial atau lingkungan yang sejalan dengan mereka, dan memboikot yang tidak etis. Ini adalah bentuk tekanan ekonomi-politik yang kuat.
-
Volunteerisme dan Organisasi Komunitas: Banyak Milenial terlibat dalam organisasi non-pemerintah, gerakan komunitas, atau program sukarelawan yang secara langsung mengatasi masalah sosial di lingkungan mereka, tanpa perlu melewati birokrasi politik yang rumit.
Merajut Harapan: Jalan ke Depan
Keterlibatan Milenial dalam politik bukan tidak ada, melainkan sedang berevolusi. Harapan itu sangat ada, namun memerlukan adaptasi dari kedua belah pihak:
Bagi Partai Politik dan Pemerintah:
- Adaptasi Komunikasi: Gunakan platform digital secara cerdas dan otentik. Berbicaralah dalam bahasa yang relevan, fokus pada solusi konkret untuk isu yang menjadi perhatian Milenial.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Bangun kembali kepercayaan dengan menunjukkan integritas dan keterbukaan dalam setiap proses.
- Relevansi Kebijakan: Susun kebijakan yang secara langsung menyentuh isu-isu yang penting bagi Milenial, seperti lapangan kerja yang berkelanjutan, pendidikan berkualitas, akses kesehatan mental, dan keberlanjutan lingkungan.
- Memberi Ruang Representasi: Buka pintu bagi Milenial untuk terlibat dalam struktur partai, proses legislatif, dan posisi pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai "pelengkap" kampanye.
Bagi Generasi Milenial:
- Pentingnya Partisipasi Sistemik: Sadari bahwa perubahan struktural seringkali membutuhkan partisipasi dalam sistem, termasuk menggunakan hak pilih, mengawasi kebijakan, dan bahkan mencalonkan diri.
- Literasi Politik dan Media: Kritis dalam menyaring informasi, membedakan fakta dari disinformasi, dan memahami kompleksitas proses politik agar tidak mudah terprovokasi atau apatis.
- Menyalurkan Energi Efektif: Membangun jembatan antara aktivisme digital dengan aksi nyata yang berkelanjutan, serta belajar cara bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama.
Kesimpulan
Milenial adalah kekuatan demografi dan sosial yang tak terbantahkan. Stigma apatis hanyalah permukaan dari gunung es keterlibatan yang sedang bergeser bentuk. Api keterlibatan politik mereka memang tidak selalu menyala di altar politik tradisional, tetapi berkobar terang di medan digital dan ranah aktivisme isu.
Masa depan politik yang inklusif dan responsif akan sangat bergantung pada kemampuan sistem politik untuk beradaptasi, mendengarkan, dan merangkul cara baru Milenial berpartisipasi. Sebaliknya, Milenial juga perlu menemukan cara untuk menyalurkan idealisme dan energi mereka secara efektif ke dalam proses politik yang lebih luas. Dengan dialog, adaptasi, dan keterbukaan dari kedua belah pihak, harapan untuk keterlibatan politik yang berarti dari generasi Milenial tidak hanya ada, tetapi akan menjadi episentrum perubahan yang transformatif.
