Studi Kasus Politik Populis di Negara Berkembang

Gelombang Merayu Rakyat: Anatomi Politik Populis di Negara Berkembang

Dalam dekade terakhir, politik populis telah menjadi fenomena global yang tak terhindarkan, namun dampaknya terasa paling tajam dan kompleks di negara-negara berkembang. Di tengah kerentanan struktural, ketimpangan ekonomi, dan seringkali institusi demokrasi yang belum matang, populisme menawarkan narasi yang kuat dan solusi yang tampaknya sederhana, merayu hati "rakyat biasa" namun kerap kali berujung pada erosi demokrasi dan ketidakstabilan jangka panjang.

Daya Pikat Populisme di Negara Berkembang

Populisme, pada intinya, adalah ideologi tipis yang membagi masyarakat menjadi dua kubu: "rakyat yang murni" melawan "elite yang korup." Pemimpin populis mengklaim sebagai satu-satunya representasi sejati dari kehendak rakyat. Di negara berkembang, narasi ini menemukan lahan subur karena beberapa faktor kunci:

  1. Ketimpangan Ekonomi dan Sosial yang Mendalam: Globalisasi seringkali memperparah kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Jutaan orang merasa terpinggirkan dari pertumbuhan ekonomi, hidup dalam kemiskinan atau ketidakpastian. Populisme mengeksploitasi frustrasi ini dengan menjanjikan redistribusi kekayaan, pekerjaan, atau kesejahteraan sosial melalui kebijakan yang seringkali tidak berkelanjutan.
  2. Kelemahan Institusi dan Korupsi: Di banyak negara berkembang, institusi negara – mulai dari peradilan, birokrasi, hingga lembaga penegak hukum – seringkali dinilai lemah, tidak efektif, atau terjerat korupsi. Kepercayaan publik yang rendah terhadap elite politik tradisional membuka ruang bagi pemimpin populis yang berjanji untuk "membersihkan" sistem.
  3. Politik Identitas dan Fragmentasi Sosial: Perbedaan etnis, agama, regional, atau kelas seringkali menjadi garis patahan yang mudah dimanfaatkan. Pemimpin populis mahir dalam memobilisasi kelompok identitas tertentu dengan menunjuk "musuh bersama" – entah itu kelompok minoritas, imigran, atau kekuatan asing – untuk mengkonsolidasikan dukungan.
  4. Tokoh Karismatik dan Media Sosial: Pemimpin populis cenderung memiliki karisma yang kuat dan kemampuan retorika yang ulung. Mereka memanfaatkan media massa tradisional dan terutama media sosial untuk membangun komunikasi langsung dengan konstituen, melewati filter media arus utama dan membangun kultus individu.

Modus Operandi: Studi Kasus Pola Populis

Alih-alih menunjuk satu negara spesifik, mari kita bedah pola umum yang sering terlihat dalam studi kasus politik populis di berbagai negara berkembang:

Kasus A: Populisme Ekonomi Berbasis Sumber Daya
Di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam (minyak, gas, mineral), pemimpin populis sering muncul dengan janji untuk "merebut kembali" kendali atas sumber daya tersebut dari perusahaan asing atau elite domestik. Mereka menjanjikan nasionalisasi, subsidi besar-besaran, dan program sosial yang ambisius.

  • Contoh Pola: Pemimpin akan menggalang dukungan dengan retorika anti-imperialis atau anti-kapitalis, berjanji bahwa kekayaan negara akan dinikmati sepenuhnya oleh rakyat. Awalnya, kebijakan ini mungkin populer, namun seringkali berujung pada pengelolaan ekonomi yang buruk, korupsi yang lebih parah, ketergantungan pada harga komoditas global, dan pada akhirnya, krisis ekonomi ketika janji-janji tidak dapat dipertahankan. Institusi ekonomi yang seharusnya menjadi penyeimbang justru dilemahkan atau diisi oleh loyalis.

Kasus B: Populisme Sosial-Budaya dan Politik Identitas
Di negara-negara dengan keragaman sosial yang tinggi, populisme dapat berakar pada sentimen nasionalis, religius, atau etnis. Pemimpin populis mengklaim membela "nilai-nilai tradisional" atau "identitas sejati" bangsa dari ancaman "liberalisme Barat," "sekularisme," atau kelompok minoritas yang dianggap merusak tatanan sosial.

  • Contoh Pola: Kampanye politik sering diwarnai dengan retorika yang memecah-belah, menstigmatisasi kelompok tertentu sebagai "lain" atau "musuh." Hukum-hukum yang diskriminatif mungkin diperkenalkan, atau lembaga-lembaga keagamaan/tradisional dimobilisasi untuk mendukung agenda politik. Masyarakat menjadi terpolarisasi, dengan peningkatan intoleransi dan potensi konflik sosial. Media independen sering menjadi target utama untuk dibungkam atau diserang.

Kasus C: Populisme Otoriter dan Erosi Demokrasi
Beberapa pemimpin populis, setelah meraih kekuasaan melalui jalur demokratis, secara sistematis mulai membongkar pilar-pilar demokrasi. Mereka mengklaim melakukan ini demi "kehendak rakyat" atau untuk "memerangi elite lama yang korup."

  • Contoh Pola: Langkah-langkah yang diambil meliputi pelemahan peradilan melalui intervensi atau penunjukan loyalis, pembatasan kebebasan pers, penekanan oposisi politik, dan perubahan konstitusi untuk memperpanjang atau mengkonsolidasikan kekuasaan. Pemilu mungkin masih diadakan, tetapi "lapangan bermain" semakin tidak adil. Tujuan akhirnya adalah menciptakan "demokrasi illiberal" di mana mekanisme checks and balances nyaris tidak berfungsi, dan kekuasaan terpusat pada figur pemimpin.

Dampak dan Konsekuensi

Terlepas dari varian spesifiknya, populisme di negara berkembang seringkali membawa konsekuensi yang merugikan:

  • Erosi Demokrasi: Pilar-pilar demokrasi seperti kebebasan pers, independensi yudikatif, dan hak-hak minoritas terancam atau dilemahkan.
  • Ketidakstabilan Ekonomi: Kebijakan ekonomi populis yang tidak realistis seringkali menyebabkan inflasi tinggi, utang negara membengkak, dan investasi asing menurun.
  • Polarisasi Sosial: Masyarakat terpecah belah, dan sentimen intoleransi meningkat, menghambat kohesi sosial dan pembangunan jangka panjang.
  • Korupsi yang Merajalela: Meskipun berjanji memerangi korupsi, populisme seringkali menciptakan bentuk korupsi baru di mana loyalis diuntungkan dan pengawasan publik melemah.
  • Isolasi Internasional: Beberapa rezim populis cenderung mengadopsi kebijakan luar negeri yang konfrontatif atau isolasionis, merusak hubungan diplomatik dan ekonomi.

Menghadapi Gelombang Populis

Memahami anatomi politik populis di negara berkembang adalah langkah pertama untuk menghadapinya. Ini memerlukan upaya kolektif untuk memperkuat institusi demokrasi, mempromosikan literasi media dan pemikiran kritis di kalangan masyarakat, serta yang terpenting, mengatasi akar masalah seperti ketimpangan ekonomi dan korupsi yang menjadi pupuk bagi tumbuhnya janji-janji populis. Tanpa upaya ini, gelombang populisme akan terus merayu rakyat, namun berpotensi membawa kapal negara berkembang ke arah yang berbahaya.

Exit mobile version